WABAH “VIRUS” ISLAMOPHOBIA DI INDONESIA

Published by achmad dharmawan on

Assalamualaikum wrwb.
Segala puji hanya milik Allah. Mari kita syukuri semua karunia dan kasih sayang Allah yang tidak mampu kita menghitungnya. Hanya karena anugrah dan kasih sayang-Nya, kita sehat afiat afiat dan dapat melaksanakan aktifitas kita. Mari kita niatkan beribadah kepada Allah, agar amalan kita lebih bermakna bagi hidup kita di dunia ini dan menjadi investasi kita di akhirat kelak.
Shalawat dan salam mari kita lantunkan untuk sosok teladan yang baik kita, Baginda Rasulullah Muhammad saw. Semoga meluber rahmat Allah pada keluarga, sahabat, dan para pengikut setia beliau, dan kelak di akhirat kita mendapat limpahan syafaat beliau.
Saudaraku, judul tulisan tersebut, terinspirasi dari tema dialog pagi di salah satu TV swasta, yang relatif lebih netral, TVOne pagi ini, Sabtu, 30/12/2017. Biasanya jika sudah diangkat di media elektronik, isu dan “virus” tersebut sudah agak “terang benderang” di permukaan, meskipun tentu tidak mudah “ditangkap” sebagai penyebar virusnya.
Apa sih sebenarnya “islamophobia” itu? Dan bagaimana terminologi ini muncul? Dalam laman id.m.wikipedia.org didefinisikan, Islamofobia adalah istilah kontroversial, yang merujuk pada prasangka dan diskriminasi pada Islam dan Muslim. Istilah itu sudah ada sejak tahun 1980-an, tetapi menjadi lebih populer setelah peristiwa serangan 11 September 2001. Pada tahun 1997, Runnymede Trust seorang Inggris mendefinisikan Islamofobia sebagai “rasa takut dan kebencian terhadap Islam dan oleh karena itu juga pada semua Muslim,” dinyatakan bahwa hal tersebut juga merujuk pada praktik diskriminasi terhadap Muslim dengan memisahkan mereka dari kehidupan ekonomi, sosial, dan kemasyarakatan bangsa. Di dalamnya juga ada persepsi bahwa Islam tidak mempunyai norma yang sesuai dengan budaya lain, lebih rendah dibanding budaya barat dan lebih berupa ideologi politik yang bengis daripada berupa suatu agama. Langkah-langkah telah diambil untuk peresmian istilah ini dalam bulan Januari 2001 di “Stockholm International Forum on Combating Intolerance”. Di sana Islamofobia dikenal sebagai bentuk intoleransi seperti Xenofobia dan Antisemitisme.
Di Indonesia tampaknya sudah muncul lama. Snouck Hurgronje sarjana Leiden Belanda, seorang penasehat negara jajahan, ketika datang ke negeri nusantara ini, ia melihat bahwa Islam sudah diterima secara menyeluruh dan menjadi amaliah keseharian kaum Muslim. Oleh L.W.C van den Berg, kenyataan diterimanya Islam secara menyeluruh tersebut diteorikan menjadi teori Receptie in complexu. Artinya, Islam telah diresepsi atau diterima oleh penganutnya secara lengkap.
Demi melihat kenyataan tersebut, Hurgronje melakukan “penelitian” atau “proyek islamophobia” dengan menghimpun data di Aceh dan di Gayo. Menurutnya, orang Islam di dua daerah tersebut, dalam membagi harta warisan, tidak lagi merujuk kepada hukum Islam, akan tetapi didasarkan pada hukum adat atau kebiasaan mereka. Dari situlah, kemudian Hurgronje merasa cukup argumentasi dan data, untuk menyimpulkan bahwa sesungguhnya umat Islam tidak lagi tunduk pada ketentuan hukum Islam, tetapi kepada hukum adat. Selanjutnya, Hurgronje merumuskan menjadi teori Receptie. Artinya, orang Islam menerima hukum Islam manakala sesuai dan diterima oleh hukum adat mereka.
Teori ini kemudian direspon oleh Prof. Hazairin, gurubesar Universitas Indonesia, disebut dengan teori “iblis”. Hazairin menyebutkan, teori recepti ini, ingin menjauhkan umat Islam dari hukum agamanya. Setelah itu dimunculkan teori Receptie Exit. Artinya, adalah kebalikannya. Hukum adat dapat diterima manakala sesuai atau sejalan dengan hukum Islam, dan yang tidak sesuai harus dikeluarkan. Oleh Sajuti Thalib, dimatangkan lagi menjadi tori Receptio A Contrario.
Sisa-sisa sikap dan pemikiran pengikut “Hurgronian” ini tampaknya di negeri ini makin subur. Apakah ini kemudian berimplikasi pada makin suburnya “virus islamophobia” di Indonesia, tampaknya tidak mudah untuk dinafikan. Meskipun juga tidak bisa diiyakan begitu saja. Sejak Pilkada DKI, yang disertai adanya aksi 411, 212, bahkan ketika ada reuni 212, “sang oknum” pembuat scenario “islamophobia” jika memang benar ada, karena saya sendiri juga agak ragu, akan terus melakukan upaya sistematis untuk melakukan proyek seksi tersebut.
Ada beberapa kejadian, ketika ada wasekjen MUI Pusat, diundang ke suatu daerah. Begitu mau turun dari pesawat, “gerombolan oknum” bisa masuk bandara “tanpa screening” dan mereka membawa parang hingga mencegat “ustad” di bawah tangga pesawat. Akhirnya, demi kemashlahatan, akhirnya wasekjen MUI tersebut, tidak jadi turun.
Cerita lain, ada UAS yang sedang “naik daun” diundang pengajian di Bali yang dikenal santun dan sangat toleran, didatangi seseorang yang membawa senata tajam, dan memaksa untuk menandatangani “kontrak” tertentu, dan UAS menolak, sontak membuat jagad Indonesia kaget. Mengapa, Bali sebagai kota wisata, yang menjadi ikon kerukunan dan toleran, karena di setiap hari raya nyepi, semua warga Bali, dan bahkan penerbangan yang menggunakan bandara Ngurah Rai pun, ikut libur, tiba-tiba terkoyak hanya ulah beberapa oknum yang kurang dewasa tersebut.
Tidak lama kemudian muncul postingan, UAS diundang lagi pengajian di Bali, dan disambut oleh raja yang bahkan ikut mendengarkan ceramah. Kadang timbul pertanyaan sederhana, mengapa ya sering muncul kasus-kasus yang seakan-akan tak “terendus” oleh pihak aparat penegak hukum? Saya kira kita tidak masuk pada wilayah aparat penegak hukum.
Yang masih aktual adalah ketika UAS sudah mendarat dan turun di bandara Hong Kong, tiba-tiba UAS dibawa ke ruang khusus, dan setelah itu dipersilahkan asuk ke pesawat lagi yang akan segera membawa pulang ke Indonesia. Pertanyaan sederhananya, “mengapa bisa aparat bandara Hong Kong” memaksa memulangkan UAS?
Saudaraku, kata guru saya, al-Islam huwa al-‘aql la dina li man la ‘aqla lahu. Artinya “Islam itu (agama) akal (rasional). Tidaklah beragama (Islam) bagi orang yang tidak bisa menalarnya secara rasional”. Berangkat dari proposisi ini, maka “proyek Islamophobia” ini semakin diteruskan, ada dua kemungkinan. Pertama, akan ketahuan dengan jelas siapa sebenarnya “otak” dan “pemimpin proyek” islamophobia tersebut, dan apa maunya. Apalagi tahun 2018-2019 ini adalah tahun politik. Kedua, dengan “proyek islamophobia” ini, justru akan makin menyuburkan “militansi” kelompok-kelompok yang merasa simpati terhadap ustadz yang mereka idolakan.
Saudaraku, dunia sekarang ini sudah nyaris “tanpa batas (borderless)”. Islam itu agama rasional, makin sering “persekusi” itu dijalankan, ini ibarat dunia marketing, adalah bagian dari iklan gratis bagi para “pengusung kepentingan politik” di balik tokoh yang dipersekusi tersebut. Beruntunglah apabila tokoh yang dipersekusi, adalah sosok independen. Akan tetapi, bukan tidak mungkin jika diteruskan, maka figur yang dielu-elukan tersebut akan mencari “tempat yang aman” atau bahkan sebaliknya, justru makin menunjukkan eksistensinya, meskipun tidak ada niatan untuk “melawan”.
Saudaraku, dalam pikiran sederhana saya, kata kuncinya adalah pada “petinggi” negeri ini. Begitu pak “petinggi” bilang, “hentikan segala macam persekusi dan praktik “hukum” yang tidak sesuai dengan rambu hukum yang ada, karena itu justru sangat merugikan saya” – dan juga karir saya yang ingin menyejahterakan rakyat – maka pasti selesai. Tetapi ini hanya uneg-uneg “orang kampung” dan seandainya, apa yang terjadi itu benar adanya. Kesimpulannya, wabah “islamophobia” itu, tidak perlu dikhawatirkan akan menular ke mana-mana. Berbeda sangat jelas, dengan kasus difteri yang tahun ini cukup memakan korban. Semakin “virus islamophobia” ini ditularkan, maka potensi membesarkan rival politik justru makin signifikan.
Masyarakat kita sudah cerdas. Mereka sudah sangat litered untuk hanya sekedar menilai apakah para pemimpinnya itu melaksanakan tugas pokok dan fungsinya dengan benar atau cenderung menghalalkan segala cara?
Mengakhiri renungan ini, mari kita simak seksama “potongan” sabda Rasulullah saw yang kalau kita rasakan dengan hati yang dalam dan fikiran yang cerdas, akan terasa sangat tajam menusuk dan menghunjam dalam hati.
لولا عدل الامراء لاكل الناس بعضهم بعضا
“…kalau saja tidak ada keadilan para pemimpin, sungguh-sungguh sebagian manusia akan memangsa (memakan) sebagian lainnya…”.
Saya yakin, petinggi negeri tercinta ini, masih lebih sayang pada warga yang ingin disejahterakan. Kalau sekarang lebih banyak konsentrasi ke infrastruktur, mari kita dukung supaya segera terealisasikan dengan baik. Setelah itu kita akan merasakan, pada penciptaan iklim politik, kehiduoan sehari-hari yang nyaman dan tenteram. Karena setiap ada kejadian “persekusi” siapapun sasarannya, maka akan melahirkan kontra sikap yang berujung saling fitnah. Ini akan merusak keharmonisan dan kerukunan yang sudah terbangun dengan sangat baik.
Semoga Allah menolong bangsa ini, diselematkan dari ancaman perpecahan dan konflik, hanya karena even dan tahun politik, yang notabene, even politik itu, hanyalahbagian instrumen untuk mewujudkan baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur.
Allah a’lam bi sh-shawab.
Wassalamualaikum wrwb.

Silahkan Hubungi Kami