IBUMU, IBUMU, IBUMU, DAN KISAH IBNU JURAIJ

Published by achmad dharmawan on

Assalamualaikum wrwb.
Marilah kita syukuri anugrah dan karunia Allah ‘Azza wa Jalla, karena hanya atas anugrah dan karunia-Nya kita masih hidup dalam keadaan sehat afiat, dan dapat memperingati Hari Ibu yang ke-89. Shalawat dan salam mari kita terus senandungkan untuk Baginda Nabi Muhammad Rasulullah saw. Semoga kasih sayang Allah juga meluber pada keluarga, sahabat, dan pengikut setia yang istiqamah meneladani beliau. Semoga semua uruaan kita dimudahkan dan kelak di akhirat kita mendapat perlindungan syafaat beliau.
Mengapa tulisan ini baru muncul sekarang, karena kemarin kita bahas tentang bagaimana membangun keluarga di era millenium. Dalam keluarga Ibu-lah sebagai tiang negara (المراءة عماد البلاد ). Apabila ibu melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik maka negara ini akan baik. Akan tetapi sebaliknya jika ibu tidak bisa melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik, maka rusaklah negara ini.
Mengapa, karena dari ibu yang sukses, akan lahir generasi muda yang shalih shalihah, cerdas, religius, terampil, memiliki keunggulan kompetitif, dan siap menjadi calon-calon pemimpin masa depan. Bahkan saya sendiri — semoga teman-teman juga memiliki perasaan yang sama —jika Allah Rabbun Ghafuur memberikan kesempatan dan kemampuan pada saya dan menuangkan gagasan melalui media ini, bukanlah karena saya bisa dan mampu. Akan tetapi hanya karena doa ibu di kesunyian malam yang sangat tulus dan ikhlas selalu mendoakan saya dan saudara-saudara saya. Ibu-ibu kita tidak pernah merasa lelah, menjaga kita, melawan dinginnya air dan udara malam, bahkan tidak jarang wiridan sambil memutar untaian tasbih, sambil mengantuk, tetapi itu semua ditahan, hanya demi keinginan dan ketulusan hati Ibu memohon kepada Allah SWT agar kita anak-anaknya, menjadi generasi yang sukses dan diridhai Allah Rabbu l-‘Izzah. Rasulullah saw berpesan:
وعنْ عبدِ اللَّهِ بنِ عمرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُما، عن النبيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قالَ: (رِضَا اللَّهِ فِي رِضَا الْوَالِدَيْنِ، وَسَخَطُ اللَّهِ فِي سَخَطِ الْوَالِدَيْنِ). أَخْرَجَهُ التِّرمذيُّ، وصَحَّحَهُ ابنُ حِبَّانَ والحاكِمُ.
Riwayat dari ‘AbduLlah bin ‘Amr ra, Nabi saw bersabda: “Ridha Allah adalah dalam ridla kedua orag tua dan murka Allah dalam murka kedua orang tua” (Ditakhrij atau dikeluarkan oleh at-Tirmidzi, dan disahihkan oleh Ibnu Hibban dan al-Hakim).
Karena itulah berbahagialah teman-teman dan saudaraku yang ketika membaca tulisan ini, kedua orang tua terlebih ibu masih hidup dan dikaruniai umur panjang dan sehat afiat. Untuk itu juga, bahagiakanlah mereka. Temani, layani, hormati, dan bahagiakanlah mereka. Mari kita buka mata, hati dan sadari, ibu kitalah yang mengandung kita di rahimnya sembilan bulan lebih dalam keadaan lemah bertambah lemah (وهنا على وهن ) (QS. Luqman:14), setelah itu menyusui selama dua tahun, merawat kita dengan penuh keikhlasan. Dalam keadaan apapun, ibu kita tidak pernah mengeluh. Dalam keadaan serba terbatas dan bahkan kekurangan, ibu kita tetap menampilkan wajah yang ceria, demi tidak mengecewakan anak-anaknya. Ketika memasak sementara nasi dan lauk terbatas pun, ibu pasti mengalah, dengan mengatakan masih kenyang, karena ibu kita ingin kita anak-anaknya bahagia. Meskipun dalam kesendirian ibu kita, mereka tidak mampu menahan melelehnya air mata “kesedihan” dan “kebahagiaan” karena meratapi hidup mengapa dalam serba kekurangan. Namun mereka bahagia, karena masih bisa “menyisihkan” kebahagiaan buat anak-anaknya. Di sinilah “air mata kasih sayang itu” ditumpahkan oleh ibu kita pada saat mereka sedang mengadu, berasyik masyuk dengan Allah dalam shalat tahajjud dan doa di atas hamparan sajadah malam dengan penuh kekhusyukan.
Sausaraku, suatu saat Rasulullah saw ditanya oleh seorang sahabat:
عن أَبي هُرَيْرَةَ، جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِىّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ‏:‏ يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِى‏؟‏ قَالَ‏:‏ ‏(‏أُمُّكَ‏)‏، قَالَ‏:‏ ثُمَّ مَنْ‏؟‏ قَالَ‏:‏ ‏(‏ثُمَّ أُمُّكَ‏)‏، قَالَ‏:‏ ثُمَّ مَنْ‏؟‏ قَالَ‏:‏ ‏(‏ثُمَّ أُمُّكَ‏)‏، قَالَ‏:‏ ثُمَّ مَنْ‏؟‏ قَالَ‏:‏ ‏(‏ثُمَّ أَبُوكَ‏)‏‏.‏ رواه البخاري
Riwayat dari Abu Hurairah ra. mengatakan, seorang laki-laki datang kepada Nabi saw dan bertanya: “Wahai Rasulullah saw, siapa manusia yang paling berhak untuk ditemani? Beliau bersabda: “Ibumu”. “Kemudian siapa” tanya laki-laki itu. “Ibumu” jawab Rasulullah saw. Laki-laki itu bertanya (lagi): “Kemudian siapa?” Tasulullah saw menjawab: “Ibumu”. Laki-laki itu bertanya (lagi): “Kemudian siapa”? Rasulullah saw menjawab: “Bapakmu” (Riwayat al-Bukhari).
Saudaraku, hadits di atas dengan sangat-sangat tegas dan jelas, menunjukkan bahwa Rasulullah saw menegaskan orang yang paling berhak dan sekaligus wajib dihormati adalah ibu kita. Beliau mengulanginya sampai tiga kali, baru setelah itu kita menghormati bapak.
Pada masa Rasulullah saw ada kisah yang sangat berharga untuk pembelajaran (ta’bir) kita yang diriwayatkan dalam Hadits Riwayat Bukhari, Fathul Baari 6/476, dan Muslim, 2550. Nama lengkapnya adalah Abu al-Walid ‘Abd al-Malik bin ‘Abd al-‘Aziz bin Juraij (80-150 H). Ibnu Juraij dikenal sebagai sosok yang ahli ibadah (al-‘abid). Dikenal sebagai salah seorang ulama, ahli fiqh, pembaca al-Qur’an, perawi hadits menurut Ahlus Sunnah wal Jamaah, termasuk golongan tabiu al-tabiin.
Abu Hurairah ra meriwayatkan, “Seorang yang bernama Ibnu Juraij sedang beribadat shalat di sebuah surau
(tempat ibadah). Ibunya datang memanggilnya. Humaid mengatakan: “Abu Rafi’ pernah menjelaskan kepadaku tentang Abu Hurairah meniru gaya ibu Ibnu Juraij ketika memanggil anaknya, sebagaimana beliau mendapatkannya
dari Rasulullah saw, yaitu dengan meletakkan tangannya di bagian kepala antara dahi dan telinga serta mengangkat
kepalanya: “Hai Juraij! Aku ibumu nak, jawablah panggilanku”.
Ketika itu perempuan tersebut mendapati anaknya sedang shalat. Ibnu Juraij pun, dengan keraguan berbicara pada dirinya sendiri: “Ya Allah, ibuku atau shalatku”. Di tengah keraguan itu, Ibnu Juraij memilih meneruskan shalatnya. Tidak berapa lama setelah itu, perempuan tersebut datang untuk yang kedua kalinya dan memanggil-manggil anaknya: “Hai Juraij! Aku ibumu nak, jawablah panggilanku’”. Ibnu Juraij untuk kedua kalinya bertanya kepada diri sendiri: “Ya Allah, ibuku atau shalatku” (yang harus aku jawab)”? Namun Ibnu Juraij masih tetap memilih
untuk meneruskan shalatnya.
Oleh karena si Ibu merasa kecewa tidak mendapat jawaban anaknya, akhirnya perempuan itu berkata: “Ya Allah, sesungguhnya Juraij adalah anakku. Aku sudah
memanggilnya berulang kali, namun ternyata ia enggan menjawab panggilanku. Ya Allah, janganlah Engkau matikan ia sebelum ia mendapat fitnah yang disebabkan oleh
perempuan pelacur”.
Pada suatu hari seorang penggembala kambing
berteduh di dekat tempat ibadah Ibnu Juraij yang letaknya pun agak jauh terpencil dari orang ramai. Tiba-tiba datang seorang perempuan dari sebuah dusun yang juga
berteduh di tempat itu. Kemudian keduanya melakukan perbuatan zina, sampai hamil hingga melahirkan anak.
Tentu kasus ini mengundang kecurigaan masyarakat. Ketika ditanya oleh orang-orang ramai : “Anak kamu ini dari laki-laki
siapa”? Perempuan itu pun menjawab: “Anak ini dari penghuni tempat ibadah itu”. (AstaghfiruLlahal ‘adhim, pen.). Setelah itu, orang ramai berduyun-duyun datang kepada Ibnu Juraij. Mereka dalam keadaan marah, membawa
besi perajang. Mereka berteriak-teriak memanggil Ibnu Juraij, yang pada waktu itu sedang mengerjakan shalat. Karena Ibnu Juraij sedang mengerjakan shalat, Ibnu Juraij tidak melayani panggilan mereka.
Akhirnya mereka merobohkan bangunan tempat ibadah itu. Demi melihat keadaan itu, Ibnu Juraij keluar menemui mereka. Mereka berkata kepada Ibnu Juraij: “Tanyalah anak
ini’l. Setelah itu Ibnu Juraij pun tersenyumdan mengusap kepala anak tersebut dan bertanya: “Siapakah bapakmu nak?” Si bayi itu pun tiab-tiba menjawab,: “Bapakku adalah seorang pengembala kambing”.
Setelah mendengar jawaban jujur dari bayi tersebut,
mereka kelihatan menyesal, lalu berkata: “Kami akan mendirikan kembali tempat ibadahmu yang kami robohkan ini dengan emas dan perak”. Ibnu Juraij menjawab: “Tidak usah, tidak perlu, biarkan ia menjadi debu seperti asalnya”. Setelah itu Ibnu Juraij pun meninggalkannya”. (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Saudaraku, kisah tersebut menjadi renungan berharga kita. Pertama, bagi kita yang orang tua dan ibu kita masih hidup, sisihkan waktu untuk memohon doa, layani mereka, dan bahagiakan mereka. Mereka tidak membutuhkan balasanmu. Apalagi berharap uang atau kekayaan darimu. Sungkemlah dan cium tangan mereka. Mohonlah ridlanya, karena ridla Allah terletak pada ridla ibu atau orang tuamu. Kalau mereka sudah wafat, doakan mereka, semoga Allah memuliakan mereka.
Kedua, bagi para ibu, doa Anda untuk putra-putri dan anak-anak adalah segalanya, yang tidak bisa dinilai dengan apapun. Karena itu ketika suatu saat anak-anak mungkin menjengkelkan, atau bahkan karena sedang mengerjakan ibadah dan ibu-ibu memanggil mereka, janganlah menyumpahi apalagi mendoakan yang buruk-buruk pada anak-anak. Perkataan dan ungkapan “kemarahan” ibu pada anaknya, adalah laksana doa yang segera dijawab dan dikabulkan oleh Allah.
Semoga kita semua termasuk hamba-hamba Allah yang siap dan mampu membahagiakan kedua orang tua kita, terutama ibu kita. Semoga Allah membahagiakan ibu dan orang tua kita, karena kita sebagai anak-anaknya insyaa Allah termasuk generasi yang shalih dan shalihah jika kita senantiasa mendoakan mereka. والى الله ترجع الامور
Allah a’lam bi sh-shawab.
Wassalamualaikum wrwb.
Ngaliyan, Semarang, 23/12/2017.

Categories: BERANDA

Silahkan Hubungi Kami