SANTRI, KITAB KUNING, DAN ISLAM MODERAT

Published by achmad dharmawan on

Assalamualaikum wrwb.
Puji dan syukur hanya milik Allah. Mari kita mensyukuri anugrah dan karunia-Nya. Allah Maha Penyayang tak berbilang, Maha Pengasih, yang selalu mengasihi dengan berlebih. Semoga kesyukuran kita, kita tidak kaget apabila Allah Rabbu l-‘Arsy menambahi anugrah dan kenikmatan-Nya. Shalawat dan salam mari kita terus senandungkan pada sosok uswatun hasanah, teladan yang baik bagi kita yang merindukan Ridla Allah, kehidupan akhirat yang membahagiakan, nabi Muhammad Rasulullah saw, untuk keluarga dan para sahabat. Semoga kebaikan dan kasih sayang itu meluber pada para pengikut setia yang berkomitmen untuk meneladani beliau.
Saudaraku, di Pondok Pesantren Raudlatul Mubtadiin Balekambang Mayong Jepara, diselenggarakan
MUSABAQAH QIRAATIL KUTUB Tingkat Nasional ke-VI Tahun 2017. Tema yang diusung adalah “Dari Pesantren untuk Penguatan Karakter dan Kepribadian Bangsa”. Setelah Pemerintah menetapkan Hari Santri Nasional pada tanggal 22 Oktober, maka kesadaran masyarakat akan peran kesejarahan pesantren terhadap eksistensi dan entitas Bangsa Indonesia ini terbuka kembali. Melalui Resolusi Jihad, atas inisiatif Rais Akbar KH. Hasyim Asy’ari, Pemerintah RI yang barunsaja terbentuk, disemangati oleh para Kyai dan Ulama untuk mengambil tindakan kepada siapapun agar kemerdekaan RI bisa tetap dipertahankan.
Karena itu, pesantren yang menjadi kawah candradimuka para Kyai dan Ulama untuk menyemai benih-benih keilmuan dan pemahaman ajaran agama Islam dengan karakter dan metodenya yang khas dan diasramakan di gotakan pondok pesantren, ternyata merupakan model pendidikan yang diakui sukses luar biasa dalam menyemai karakter bangsa.
Melalui pendidikan model pesantren disemaikan pemahaman Islam yang berkolaborasi dengan tradisi dan nilai kearifan lokal (local wisdom). Karena pesantren memang merupakan “model pendidikan” yang melestarikan dan sekaligus mewariskan tradisi yang dianggap baik, meskipun tidak anti pembaharuan. Kaidah yang sangat dikenal di dunia pondok pesantren adalah: المحافظة على القديم الصالح والاخذ بالجديد الاصلح artinya “memelihara (menjaga) nilai atau ajaran lama yang baik, dan mengambil nilai atau ajaran baru yang lebih baik”.
Salah satu karakter santri adalah sikap hormat (ta’dhim), dengar dan patuhi (sam’an wa tha’atan) kepada Kyai, apalagi dengan Kyai Pengasuh dan “Pemilik” Pesantren yang oleh santrinya disebut dengan “murabbi ruhi” atau “pendidik ruh-ku”, yang begitu sudah “kontrak” menjadi santri, maka tradisi santri ini akan berlangsung selama hidupnya. Bahkan hingga sang Guru dan Kyai wafat pun, akan terus didoakannya setiap kali ia habis shalat atau saat berdoa memohon kepada Allah SWT. Ini yang sangat jauh berbeda dengan pendidikan formal klasikal, yang tidak sedikit sudah diwarnai model-model individual. Sehingga banyak guru yang menginginkan peserta didiknya pandai, yang terkadang peserta didik “menjengkelkan” kemudian guru “marah” dan tidak bisa menahan emosi, dan mungkin “memukul” dan menimbulkan rasa sakit, peserta didik lapor kepada orang tuanya. Orang tuanya pun tanpa konfirmasi dan klarifikasi kepada sekolah, langsung melapor ke polisi. Ujung-ujungnya, guru menjadi “pesakitan”. Maka jika keberkahan ilmu menjadi berkurang, boleh jadi karena ada nuansa dan ketulusan yang berbeda dari kedua belah pihak, bisa dari guru, orang tua, dan mungkin peserta didik itu sendiri.
Kalau sekarang pendidikan pesantren, termasuk membaca kitab kuning (qiroatu l-kutub) — kutub adalah bentuk jamak dari kitab — atau dikenal dengan model bandongan atau sorogan, seperti yang sedang dimusabaqahkan di Pondok Pesantren Raudlatu l-Mubtadiin Balekambang Mayong Jepara, adalah dalam rangka merefresh atau menyegarkan kembali bahwa pendidikan di pondok pesantren salafiyah — perlu dibedakan dengan pondok pesantren salafy, yang biasanya dikonotasikan dengan pesantren yang mengarah pada pemurnian ajaran yang hanya mementingkan Al-Qur’an dan al-Sunnah saja — agar para orang tua yang menginginkan putra-putrinya menjadi anak-anak yang shalih dan shalihah, maka salah satu solusinya adalah belajar atau mondok di pesantren. Sekarang banyak dikembangkan menjadi model pendidikan modern dengan sistem boarding school, atau diasramakan, sesungguhnya adalah modifikasi dari sistem pondok pesantren.
Membaca kitab kuning, membutuhkan kemampuan dan keterampilan dari berbagai ilmu alat, nahwu (tata bahasa Arab), sharaf (ilmu tentang perubahan kata dari kata dasarnya), ilmu balaghah, badi’, bahan, ‘arudl (ilmu tentang syair), lughat atau bahasa Arab, yang secara simultan digunajan untuk memahami teks-teks dalam kitab kuning yang tanpa harakat atau syakal. Seseorang yang tidak menguasai berbagai ilmu tersebut, dijamin tidak bisa memaknai dan memahami kitab kuning dengan baik dan sempurna. Inilah uniknya pendidikan di pesantren.
Bahkan beberapa kampus UIN atau Universitas Islam Negeri yang sudah mampu menyediakan asrama — biasanya disebut Ma’had al-Jami’ah — tampaknya didasari karena melalui model pesantren atau ma’had ini, keilmuan para mahasiswa dan mahasiswi, diyakini dan secara empirik menghasilkan kualitas mahasiswa yang lebih berkualitas dibanding dengan mahasiswa yang tidak di ma’had. Tentu ini seca umum. Atau secara acak, mahasiswa mahasiswi yang memikiki basik pendidikan pesantren atau madrasah salafiyah, yang sudah dikenalkan dengan kitab-kitab kuning, mereka relatif lebih berkualitas.
Kiranya melalui momentum Musabaqah Qiraatul Kutub tingkat Nasional ini, para pimpinan UIN, IAIN, dan STAIN dapat menambah asrama atau ma’had, agar semua mahasiswa selama dalam proses belajar di Kampus, atau setidaknya selama mahasiswa aktif dalam perkuliahan, mereka bisa ditampung di pesantren mahasiswa dan mahasiswi, sehingga mereka bisa dipacu kualitasnya, di samping perkuliahan formal dalam sistem SKS.
Tampaknya sudah terbukti ada korelasi yang signifikan kualitas hasil belajar atau learning outcome mahasiswa yang tinggal di ma’had atau pesantren, hasilnya akan lebih baik prestasi dan kualitasnya. Sudah barang tentu banyak metode pembelajaran yang dikembangkan oleh para Kyai Pesantren sesuai dengan takhashshush atau spesifikasi keilmuan yang dikembangkan.
Lebih dari itu, di pesantren atau ma’had aktifitas santri lebih mudah diawasi oleh Kyai dan para pengasuh pondok. Apalagi di tengah banyak isu bahwa pesantren sekarang juga tidak kebal hadap munculnya santri-santri yang radikal dan memiliki faham yang anti NKRI. Ada informasi, mudah-mudahan ini tidak benar atau hoax, ada pesantren yang justru menjadi “sarang” kelompok radikalis, dan “mengajarkan” faham yang anti NKRI. Saya yakin, jika benar adanya, pemerintah saya kira cukup memiliki “mata” dan “telinga” untuk melihat dan mendengar isu ini jika memang benar adanya. Bangsa Indonesia yang kita sama-sama cintai ini, membutuhkan pemahaman dan pengamalan agama yang moderat, yang memiliki karakter ke-Islaman atau keberagamaan dan ke-Indonesiaan yang kokoh, berfaham moderat atau tawasuth, toleran, bisa menghargai perbedaan, dan mengutamakan persatuan dan persaudaraan.
Semoga moment Musabaqah Qiraati l-Kutub Nasional ini, mampu menggugah semangat para orang tua dan masyarakat untuk mengirim putra putrinya ke pondok pesantren, agar mereka menjadi generasi muda yang berkarakter. Keberadaan pesantren sebagai lembaga pendidikan, merupakan pendidikan yang paling autentik yang lahir dari bumi pertiwi, jauh lebih awal sebelum bangsa ini merdeka.
Mengakhiri renungan ini, menarik apa yang dinyatakan oleh Cak Nur — Allahumma yarhamhu — sebagai berikut:
“Pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua yang ada di Indonesia. Seandainya negeri kita (Indonesia—Red) ini tidak mengalami masa penjajahan, mungkin pertumbuhan sistem pendidikannya akan mengikuti jalur-jalur pendidikan yang ditempuh pesantren. Sehingga, perguruan-perguruan tinggi yang ada sekarang ini tidak akan berupa UI, ITB, IPB, UGM, Unair atau yang lain, tetapi mungkin namanya Universitas Tremas, Krapyak, Tebuireng, Bangkalan, Lasem, dan seterusnya” (Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, 1997, hal 3-5).
Semoga pondok pesantren yang mengajarkan model pembalajaran dengan membaca kitab-kitab kuning, tetap istiqamah untuk merawat tradisi pembelajarannya, sehingga melahirkan santri-santri yang terus berkomitmen untuk berkontribusi bagi bangsa Indonesia yang kita cintai. Kiranya kita masih bisa menggantung harapan, semoga akan dapat mendekati terwujudnya بلدة طيبة ورب غفور
Allah a’lam bi sh-shawab.
Wassalamualaikum wrwb.
Ngaliyan, Semarang, 3/12/2017 M, 14 Rabi’ul Awal 1439 H.

Silahkan Hubungi Kami