MENJADI ORANG YANG TAHU KALAU DIRINYA TAHU

Published by achmad dharmawan on

Assalamualaikum wrwb.
       AlhamduliLlah wa sy-syukru liLlah, mari kita ungkapan puji dan syukur kita ke hadirat Allah. Hanya karena anugrah dan karnia-Nya, hari ini kita sehat afiat dan dapat melaksanakan aktifitas kita. Tentu kita tidak lupa meniatkannya ibadah kepada-Nya, agar kita mendapatkan pahala dunia dan akhirat. Shalawat dan salam mari kita wiridkan sebagai ungkapan cinta kita kepada Baginda Rasulullah saw, keluarga, dan sahabat beliau. Semoga kebaikan akan meluber pada kita semua, dan kelak di akhirat kita mendapat syafaat beliau.
      Saudaraku, sebagai hamba Allah, kita dikarunia akal dan hati. Dengan akal kita dapat menerima dan memahami ilmu yang Allah berikan kepada kita untuk menerangi jalan hidup kita. Kata bijak para Ulama menjelaskan “العلم نور” artinya “pengetahuan itu cahaya”. Rasulullah saw. bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : مَنْ أَرَادَ الدُّنْيَا فَعَلَيْهِ بِاْلعِلْمِ وَ مَنْ أَرَادَ ْالآخِرَةِ فَعَلَيْهِ بِاْلعِلْمِ وَ مَنْ أَرَادَ هُمَا فَعَلَيْهِ بِاْلعِلْمِ (رواه الطبراني).
“Barangsiapa menghendaki (kehidupan) dunia (mudah dan baik), maka baginya wajib berilmu, dna barangsiapa menghendaki (kehidupan) akhirat (baik) maka baginya wajib berilmu, dan barangsiapa menghendaki keduanya (kehiduoan dunia akhirat) maka wajib baginya berilmu”. (Riwayat ath-Thabrany).
       Saudaraku, besok pagi Pascasarjana UIN Walisongo menyelenggarakan Orientasi Mahasiswa Baru tahun akademik 2017-2018. Seluruh mahasiswa baru baik S2 dan S3 baik yang hasil seleksi program 5.000 doktor, yang non-beasiswa, wajib mengikuti acara ini. Tujuan orientasi ini, adalah memberikan bekal, agar setelah lulus S1 dan memasuki jenjang Strata 2 dan apalagi Strata 3, mereka memiliki pemahaman, sensitifitas, dan kesadaran intelektual, hati, dan emosi, bahwa mereka sedang dalam proses transformasi memasuki jenjang pascasarjana (post-graduate), yang tentu berbeda dengan sebelumnya.
       Bertambahnya jenjang keilmuan, tentu akan mendatangkan amanat baru, baik keilmuan, tanggungjawab akademik, dan tanggungjawab sosial yang harus diemban dan dipikul serta dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dan tentu kepada Allah ‘Azza wa Jalla.
       Pada ghalibnya, seseorang bertambah ilmu ia akan bertambah dekat dengan Allah, bertambah rendah hati (tawadlu’), dan merasa semakin sedikit ilmu yang ia dapatkan dari Allah Tuhan Yang Maha Besar. Apalagi bagi insan akademik UIN Walisongo dan mungkin perguruan tinggi keagamaan Islam yang lain. Orang yang alim atau berilmu, idealnya ia adalah orang yang ‘abid (penghamba yang baik, yang jungkung (Jawa) ibadahnya, selalu andap asor, dhepe-dhepe (تضرع) kepada Allah, dan selalu menghormati dan memanusiakan orang lain. Karena orang lain ini, difahami dan diposisikan sebagai hamba dan ciptaan Allah yang memang harus dimuliakan. Maka pantang bagi orang yang berilmu secara benar, untuk dihinggapi “penyakit” sombong, tinggi hati, dan angkuh. Ia belajar dengan ilmu padi, yang kian berisi, kian merunduk.
       Orang yang ‘alim, setelah menjadi ‘abid, ia berusaha menjadi orang yang ‘arif. Artinya ia mengenali siapa sesungguhnya dirinya, dari mana asal, untuk apa ia diciptakan dan dihidupkan di dunia ini, dan ke mana tujuan hidupnya akan ditempuh? Dari sinilah, orang-orang yang berilmu — dan sampai pada tingkatan ma’rifat — maka ia menyadari dengan sepenuh hati, perasaan, dan fikiran, bahwa dirinya hanyalah debu atau saripati tanah, hidup dan menempuh perjalanan hidupnya dari tanah, dan pada saatnya akan dikembalikan ke tanah lagi (QS. Thaha: 55).
       Menurut Imam Al-Ghazali, ada empat katagori seseorang :
قال الخليل بن أحمد : الرجال أربعة، رجل يدري ويدري أنه يدري فذلك عالم فاتبعوه، ورجل يدري ولا يدري أنه يدري فذلك نائم فأيقظوه، ورجل لا يدري ويدري انه لا يدري فذلك مسترشد فأرشدوه، ورجل لا يدري أنه لا يدري فذلك جاهل فارفضوه.”  ―( أبو حامد الغزالي, إحياء علوم الدين)
Al-Khalil bin Ahmad, mengutip dari Abu Hamid al-Ghazali mengatakan: “Orang-orang itu ada empat, seseorang yang mengetahui, dan mengetahui bahwa dirinya mengetahui, maka itulah orang yang berilmu (alim), maka ikutilah; seseorang yang mengetahui, dan tidak mengetahui, bahwa dirnya mengetahui, maka itulah orang yang tidur, maka bangunkanlah; seseorang yang tidak mengetahui, dan mengetahui, bahwa dirinya tidak mengetahui, maka demikianlah orang yang mencari atau memohon petunjuk, maka bimbinglah atau tunjukkanlah; dan seseorang yang tidak mengetahui, dan tidak mengetahui bahwa dirinya tidak mengetahui, maka demikian itulah orang yang bodoh, maka hentikanlah (tolaklah)” (Abu Hamid, Ihya’ Ulumiddin).
       Dalam instrumen sebenarnya sudah ada materi Test Potensi Akademik (TPA) yang tujuannya untuk mengukur kemampuan, kecepatan, dan juga keterampilan akademik calon mahasiswa. Ini apabila mereka lolos, diharapkan mereka tidak hanya cerdas secara akademik (intelektual) akan tetapi juga diharapkan mereka juga cerdas secara spiritual dan emosional. Apa yang diklasifikasikan oleh Al-Ghazali di atas, tampaknya disimpulkan setelah beliau melakukan telaah empirik pada murid-murid beliau. Kapasitas dan kedalaman ilmu Al-Ghazali dengan pengalaman praktik sufistiknya, menjadikan paradigma, pendekatan, dan taste keilmuannya tampak sekali sangat berbeda antara guru dan murid.
      Ketika suatu saat Al-Ghazali bertanya tentang “apa yang paling berat di dunia ini, dan muridnya menjawab baja, ternyata beliau membenarkan dengan memberikan koreksi, bahwa yang paling berat adalah mengerjakan shalat”. Kala Al-Ghazali bertanya tentang “apa yang paling tajam di dunia ini, dan muridnya menjawab pedang, beliau membenarkan dengan koreksi, bahwa yang paling tajam di dunia ini adalah lisan”. Saat Al-Ghazali bertanya kepada muridnya, “apa yang paling dekat di dunia ini, muridnya menjawab orang tua, guru, kawan, dan sahabat. Beliau membenarkan dengan koreksi, bahwa yang paling dekat di dunia ini adalah kematian”. Ketika Al-Ghazali bertanya kepada muridnya tentang “apa yang paling besar di dunia ini, oleh muridnya dijawab, gajah, maka beliau membenarkan dengan koreksi bahwa yang paling besar di dunia ini adalah nafsu”.
       Saudaraku, Allah ‘Azza wa Jalla menjanjikan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dan menuntut ilmu derajat yang tinggi.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انشُزُوا فَانشُزُوا يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ.
“Hai orang-orang yang beriman apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapangkah dalam majelis”, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan : “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan menjnggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Mujadilah:11).
       Kita berharap, diri kita makin cinta ilmu, karena Rasulullah saw memerintahkan menuntut ilmu dari buaian hingga kita di liang lahat. Bahkan sejak kita di dalam kandungan sudah diajari oleh orang-orang tua kita, dengan pendidikan Al-Qur’an dan kasih sayang yang luar biasa. Semoga Allah memberikan ilmu-Nya pada kita, dan kita semakin berilmu semakin rendah hati, santun, jauh dari kesombongan dan keangkuhan, dan yang terpenting kita mengetahui, dan mengetahui bahwa kita adalah orang yang mengetahui. Atau setidaknya kita adalah orang yang tidak mengetahui, tetapi mengetahui bahwa kita tidak mengetahui. Karena itu kita akan terus belajar.
       Pada para mahasiswa baru Pascasarjana UIN Walisongo selamat begabung menjadi keluarga besar Pascasarjana uin Walisongo, belajarlah karena Allah, insyaa Allah, Allah akan memberkahi Anda semua, menjadi hamba Allah yang berilmu, menjadi ‘abid, dan ‘arif atau setidaknya menjadi hamba Allah yang pandai bersyukur dan memberikan manfaat bagi orang lain.
       Allah a’lam bi sh-shawab.
Wassalamualaikum wrwb.
Ngaliyan Semarang, 27/8/2017.

Silahkan Hubungi Kami