MENAGIH KOMITMEN PEMERINTAH BAGI PENGUATAN LKS, GUNA MENGHAPUS KEMISKINAN DAN KESENJANGAN PENGHASILAN

Published by achmad dharmawan on

Assalamualaikum wrwb.
Segala puji hanya milik Allah. Hanya karena anugrah dan karunia-Nya, kita sehat afiat dan dapat melakukan aktifitas kita sebagai pengabdian kita kepada Allah dan melakukan hal yang bermanfaat bagi sesama. Semoga Allah menambah anugrah dan karunia-Nya pada kita. Shalawat dan salam mari kita senandungkan untuk Rasulullah saw, keluarga, sahabat, dan para pengikut beliau. Semoga semua urusan kita dimudahkan oleh Allah, dan syafaat beliau akan memayungi kita di hari akhirat nanti.
Hari ini 23-24/8/2017 sedang digelar 2nd Annual Islamic Finance Conference di Hotel Ambarukmo Yogyakarta. Kebetulan saya mendapat tugas mengikuti acara tersebut. Acara ini digelar oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia, bekerjasama dengan Islamic Development Bank, IRTI (The Islamic Research and Training Institut), KNKS (Komite Nasional Keuangan Syariah), IAEI (Ikatan Ahli Ekonomi Islam), dan didukung oleh World Bank Group.
Acara ini dibuka Menkeu Dr. Sri Mulyani Indrawati, dihadiri Wakil Presiden IsDB, Dr. Mansur Muhtar, Menteri Keuangan Afganistan, Eklil Ahmad Hakimi, dan narasumber lainnya. Ada dua isu utama yang hemat saya, dalam perhelatan besar ini. Pertama, untuk bisa menghapus kemiskinan di Indonesia dan beberapa negara Muslim lain di dunia ini, adalah bagaimana keberlanjutan pencapaian tujuan pembangunan yang disebut SDGs (Sustainable Development Goals) atau tujuan pembangunan berkelanjutan. Yang menarik, justru berbagai narasumber, termasuk pidato kunci Menkeu Srimulyani Indrawati mengemukakan bahwa potensi zakat yang di atas Rp 217 trilyun rupiah, belum tergarap dengan baik. Demikian juga waqaf baik waqaf property maupun waqaf tunai (cash waqf).
Ada pendapat SDGs ini adalah sebagai formula atau konsep alternatif dari belum optimalnya formula Millenium Development Goals yang berakhir tahun 2015. Karena itu dimunculkan gagasan SDGs ini pada tahun 2012 dalam Dokumen hasil “Rio+20” konferensi PBB dan dimatangkan dalam sidang Majelis Umum PBB ynag terdiri dari Kelompok Kerja Terbuka dengan 30 anggota (https://googleweblight.com). Karena itu, diperlukan adanya ke itraan global secara terpadu. Dalam bahasa sederhana saya, masing-masing negara musti harus menghilangkan ego sektoral masing-masing. Ini dimaksudkan untuk menghindari dampak dari dampak buruk perubahan cuaca, suhu panas bumi, yang pasti berdampak pada makin bertambahnya angka kemiskinan. Karena faktor tingginya angka kemiskinan ini, pasti akan mengganggu suksesnya SDGs.
Soal pertanian dna ekosistem ini menjadi persoalan pelik. Karena pada tahun 2050 diprediksi jumlah penduduk dunia akan mencapai 9 milyar. Pertanyaannya adalah, “bagaimana kita mencukupi kebutuhan pangan, namun tidak berdampak pada eksistem kita?” Ada lima besar “big 5” aspirasi pembangunan: pengentasan kemiskinan, ketahanan pangan, adaptasi perubahan iklim dna mitigasi, konservasi keanekarabaman hayati, dan penciptaan ekonomi hijau (cifor.org).
Kedua, bagaimana keuangan Islam dapat memainkan peran dan fungsinya dalam memberantas kemiskinan dna kesenjangan atau ketidakadilan ekonomi? Sementara dalam pengalaman Indonesia sendiri, terkait dengan pertumbuhan marketshare LKS syariah, khususnya perbankan syariah, hingga tulisan ini dibuat masih dalam jebakan angka 5,3 persen. Ini tentu memerlukan solusi konseptual dan pada wilayah kebijakan.
Konferensi internasional tahunan ke-2 tentang Islamic Finance ini, diharapkan dapat menggugah komitmen pemerintah di dunia, terutama negara-negara Muslim yang pada umumnya angka kemiskinannya relatif lebih tinggi dibanding negara-negara yang lain. Dalam RAPBN 2018 (www.kemenkeu.go.id) dirumuskan tujuan RAPBN — yang akan menjadi APBN — adalah untuk mendukung tercapainya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, penciptaan lapangan kerja, pengentasan kemiskinan, dan pengurangan kesenjangan yang pada gilirannya bermuara pada terwujudnya kesejahteraan bagi seluruh masyarakat secara lebih berkeadilan.
Rumusan tersebut cukup baik, namun detail distribusi anggaran dan realisasinya perlu pencermatan lebih dalam. Apalagi terkait dengan keberpihakan dan komitmen pemerintah untuk meningkatkan peran dan fungsinya dalam memberantas kemiskinan dan ketidakadilan. Ada beberapa hal yang hemat saya perlu dilakukan oleh pemerintah. Pertama, Kementerian Keuangan — sudah barang tentu melalui Menteri Keuangan yang sempat mengutip konsep mashlahat dalam pemeliharaan lima kebutuhan primer manusia (الضروريات الخمس) yakni : memelihara agama (حفظ الدين), memelihara jiwa (حفظ النفس), memelihara akal (حفظ العقل), memelihara keluarga (حفظ النسل), dan memelihara harta (حفظ العرض atau حفظ المال) — bisa mengambil langkah diskresi untuk menempatkan 20-25 % anggaran APBN 2018 yang bisa mencapai Rp 2.349 trilyun ditempatkan atau disistribusikan melalui lembaga keuangan syariah (Islamic finance).
Kedua, melalui Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) yang dipimpin langsung oleh Presiden, perlu melakukan inisiasi pembentukan BUMN Perbankan Syariah. Sebagai “mantan” anggota Komite Pengembangan Jasa Keuangan Syariah (KPJKS) OJK, pernah mengusulkan inisiatif pembentukan BUMN Perbankan Syariah, bahkan sudah muncul wacana tiga Bank Besar Syariah Negara, dimerger menjadi satu, agar mampu membiayai proyek-proyek besar strategis, termasuk di dalamnya proyek infrastruktur.
Ketiga, Kementerian Agama perlu melakukan akselerasi dan optimalisasi penghimpunan zakat yang potensinya diperkirakan lebih dari Rp 225 trilyun, melalui revisi UU No. 23/2011 tentang Pengelolaan Zakat, untuk (1) mencantumkan klausul tentang kewajiban membayar zakat bagi warga negara yang beragama Islam dan sanksinya jika mereka tidak membayar. Karena tanpa ada klausul bahwa zakat adalah mandatory dari pemerintah, akan sulit mengoptimalkan penghimpunan zakat secara optimal. (2). Merubah klausul pasal 22 yang berbunyi “Zakat yang dibayarkan oleh muzaki kepada BAZNAS atau LAZ dikurangkan dari penghasilan kena pajak” menjadi “Zakat yang dibayarkan oleh muzaki kepada BAZNAS atau LAZ dikurangkan dari pajak”. Ini dimaksudkan untuk menghindari “pajak” ganda, meskipun secara fiqh zakat tentu beda dengan pajak. Akan tetapi substansi fungsi sosial zakat adalah untuk membantu para mustahik, yang secara siyasah politik menjadi urusan san tanggung jawab pemerintah untuk mengaturnya.
(3). Dalam ikhtiar untuk memberdayakan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dan mendongkrak marketshare Perbankan Syariah, Menteri Agama dapat dan perlu membuat aturan agar instansi di bawah Kementerian Agama, dari pusat, provinsi, kabupaten dan kota, serta Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri, agar seluruh lalu lintas penempatan dan pembayaran dilakukan melalui Perbankan Syariah. (4). Dalam hal masih ada lembaga auditor di luar Kementerian Agama — seperti BPK, BPKP — yang melakukan audit juga dapat dipastikan menggunakan parameter dan sistem syariah, agar kepatuhan syariah dapat terpenuhi. Seperti dana (jamaah) haji, yang sudah ditempatkan di Perbankan Syariah dalam bentuk deposito mestinya tidak menggunakan skema fixed return, karena ini adalah bentuk transaksi ribawi. Saya yakin, sekiranya usulan di atas dapat dilakukan oleh para pejabat yang berwenang, dan bisa segera dieksekusi, maka akan mengangkat dan menaikkan marketshare Perbankan Syariah dan LKS lainnya.
Saudaraku, kita semua sudah memahami dengan sangat baik bahwa betapa “mengerikannya” soal riba ini. Sampai-sampai pelarangan riba dalam Al-Qur’an pun harus dilakukan secara bertahap. Dan kiranya dua kementerian dengan kemitraan strategis, akan memberikan harapan besar terhadap berperannya Islamic Finance ini secara optimal, bagi upaya mendukung sukses dan tercapainya SDGs, melalui penghapusan — atau setidaknya pengurangan angka kemiskinan — dan berkurangnya kesenjangan.
Allah SWT memerintahkan jihad di dalam Al-Qur’an lebih banyak mendahulukan jihad dengan harta (jihad bi l-amwal).
الَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ أَعْظَمُ دَرَجَةً عِندَ اللهِ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ
“Orang-orang yang beriman dan berhijrah sertaberjihad di jalan Allah dengan harta, benda, dan diri mereka, asalah lebih tinggi derajatnya di sisiAllah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan” (QS. At-Taubah: 20).
Selamat berkonferensi, semoga menghasilkan rumusan yang akan menjadi panduan strategis bagi upaya peran Islamic finance dalam mewujudkan tatanan dunia baru yang berkeadilan, berkelanjutan, dan berkamkmuran.
Allah a’lam bi sh-shawab.
Wassalamualaikum wrwb.
Yogya-Semarang, 23/8/2017.
Categories:

Silahkan Hubungi Kami