PENDIDIKAN, KOMITMEN, DAN KETELADANAN PRILAKU PANCASILAIS

Published by achmad dharmawan on

Assalamualaikum wrwb.
Saudaraku, mari kita syukuri anugrah dan pertolongan Allah. Hanya karena Rahman dan Rahim-Nya, kita sehat afiat, panjang umur, bisa menjalankan aktifitas kita sebagai hamba untuk menjemput rizqi Allah sesuai dengan profesi kita masing-masing. Shalawat dan salam mari kita senandungkan untuk Baginda Rasulullah saw, keluarga, sahabat, dan pengikutnya. Semoga syafaat beliau kelak di akhirat akan memayungi kita.
Sabtu (12/8) Presiden RI meluncurkan program Penguatan Pendidikan Pancasila. Pancasila merupakan landasan ideologi dan dasar bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat. Karena para founding fathers yang mendirikan negara bangsa Indonesia ini, telah berjuang dan meletakkan dasar negara, Pancasila, bukan negara agama, juga bukan negara sekuler. Dengan Pancasila diharapkan mampu menjadi pemersatu bangsa yang beragam, majemuk, plural, berbhinneka namun tetap tunggal ika.
Presiden Jokowi mengatakan, “Pancasila merupakan ideologi bangsa yang penting sebagai pengarah dalam menghadapi berbagai tantangan di masa depan. Perubahan dunia yang begitu cepat saat ini, harus diantisipasi” (m.republikaco.id).
Program penguatan pendidikan Pancasila tentu perlu direspon dan diapresiasi secara positif. Akan tetapi, yang lebih penting dilakukan oleh presiden sebagai pemimpin tertinggi di negeri ini adalah komitmen dan keteladanan baik prilaku politik presiden, para menteri yang menjadi pembantu presiden, gubernur, dan bupati/walikota dalam membangun negeri ini berdasar nilai dan spirit Pancasila. Karena keteladanan dalam tindakan jauh lebih penting, dari pada wacana dan tutur kata, karena Pancasila sebagai ideologi, nilai, dan spirit, akan dapat dilihat, dirasakan, dan dibuktikan dalam prilaku dan tindakan.
Bagi kita bangsa Indonesia, oleh Pancasila sesungguhnya kita diwajibkan menjalankan ibadah dan kegiatan sehari-hari dengan dasar iman dan taqwa. Sila pertama Pancasila mengamanatkan setiap bangsa Indonesia ber-Ketuhanan Yang Maha Esa (bertauhid). Ini juga menyuratkan bahwa orang yang tidak ber-Tuhan, komunis, atau ateis, tidak sepatutnya hidup di Indonesia. Sementara kita tidak menangkap fenomena munculnya “komunisme” di negeri ini, dari makin banyaknya beredar gambar dan simbol palu arit, kumpulan-kumpulan dari mereka yang merasa sebagai “keturunan” orang komunis, tampaknya cukup marak. Tentu ini, jika ingin Bangsa Indonesia dan NKRI tetap tegak dan kokoh, mereka yang “mengancam” Pancasila tidak bisa dibiarkan hidup di Indonesia.
Demikian juga masih adanya indikasi gerakan-gerakan “separatisme” di beberapa wilayah Indonesia timur, harus sesegera mungkin diselesaikan, supaya tidak dimanfaatkan oleh negara lain yang tidak ingin melihat Indonesia menjadi negara yang hebat. Tentu ini wewenang presiden untuk bisa mengatasi dengan pendekatan kekuasaan atau politik.
Semua warga negara Indonesia, wajib memiliki dan menerapkan nilai dan prinsip kemanusiaan secara adil dan beradab. Soal adil dan keadilan tampaknya di negeri ini sangat mahal. Tampaknya, rasa keadilan hukum, masih sering diwarnai “tebang pilih” dan seakan-akan “pisau hukum” masih tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Ini yang akan dapat memberangus nilai kemanusiaan yang hakiki. Keadilan itu adalah memberikan hak kepada yang berhak. Kalau ada warga yang hidupnya susah, tidak ditambah kesusahannya, tetapi ditolong dan dibantu. Seharusnya negara yang ambil peran karena sudah dibekali dana oleh rakyat, karena rakyatlah yang membayar pajak secara rutin dan teratur.
Kembali kepada sila ketiga, Persatuan Indonesia. Belakangan ini, sebagai warga menyimpan “kesedihan dan keprihatinan”. Mengapa, masih ada satu dua pejabat yang notabene dibayari dari uang rakyat, tetapi membuat pernyataan yang bernuansa rasis. Tentu saja ini memicu dan memancing reaksi dari rakyat yang merindukan persatuan dan kesatuan di negeri ini. Jika ada pejabat yang seperti ini, yang seharusnya “dididik” terlebih dahulu oleh Presiden agar faham, mengerti dengan baik, dan berprilaku lebih Pancasilais katimbang warganya yang justru lebih mengamalkan Pancasila.
Mari kita bangun persaudaraan sejati dengan basis kemanusiaan kita. Indonesia adalah irisan surga yang digelar di muka bumi. Bangsa ini dalam soal persatuan sudah lama terbangun kokoh di atas landasan keberagaman dan kebhinnekaan. Karena persatuan membutuhkan kerendahhatian, kesantunan, dan saling menghargai, baik persamaan maupun perbedaannya. Kemajemukan atau keragaman adalah anugrah Allah Tuhan Yang Maha Esa, yang luar biasa. Dengan keragaman itu, dengan penduduk yang mencapai 258 juta, Indonesia menjadi kiblat model kerukunan dan keharmonisan sebuah bangsa.
Sila keempat berbunyi “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan”.
Sampai hari ini kita masih memilih demokrasi langsung, model satu orang satu suara. Pilihan ini terlalu mahal ongkos finansial dan sosial politiknya. Selain menyalahi sila keempat Pancasila, model demokrasi langsung ini, telah terbukti berbiaya sangat mahal, yang tidak berbanding lurus dengan kinerja seorang pemimpin di suatu daerah kabupaten/kota, atau bahkan di sebuah provinsi.
Kita faham betapa mahalnya biaya pemilukada DKI Jakarta. Tidak kurang dari Rp 478 milyar,- dihabiskan dari dana APBD. Ini masih ditambah rata-rata biaya kampanye dari masing-masing pasangan calon Rp 60 Milyar. Berarti sekitar Rp 180 milyar. Jika ditotal akan menghabiskan Rp 658 milyar. Jawa Tengah yang akan menggelar pilkada 2018 diperkirakan akan menghabiskan Rp 990 milyar. Ini belum biaya kampanye dari masing-masing pasangan calon. Kita sudah banyak pengalaman, tampaknya biaya demokrasi langsung ini snagat mahal.
Karena itu, tampaknya tawaran atau rekomendasi MUI dalam Ijtima’ Ulama di Cipasung Tasikmalaya, 2012 yang lalu, beberapa waktu lalu, yang sesungguhnya sudah pernah direspon oleh Pemerintah waktu itu, tetapi tiba-tiba partai pemerintah yang berkuasa waktu itu, justru rame-rame walk out, dan tidak jadi mengesahkan RUU tersebut. Akhirnya pelaksanaan pemilu tetap menggunakan satu orang satu suara.
Saudaraku, puasa mengajak kita berbuat adil, sebagaimana bunyi sila kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Persoalan ini semestinya harus dimulai dari orang nomor satu di negeri ini. Masih banyak saudara kita yang hidup miskin, susah, dan dihimpit oleh penderitaan. Tetapi sepertinya pemerintah belum melakukan perannya untuk kemanusiaan seperti ini dengan baik. Banyak acara ditayangkan di media elektronik, seperti microfon pelunas hutang, bedah rumah, dan banyak lagi lainnya. Ini maish ditambah anak-anak jalanan bahkan belakangan banyak nenek dan kakek jalanan. Padahal seharusnya mereka ini sudah saatnya, harus “menikmati” hari tuanya, dengan memperbanyak ibadah sebagai bekal menunggu jemputan para malaikat yang siap melaksanakan tugas dari Yang Memberi Hidup.
Saudaraku, lebih dari itu semua, sebagai bangsa besar, kita memang prihatin makin banyaknya kelompok-kelompok yang masih bermimpi ingin mengganti Pancasila dan NKRI. Mereka berkampanye di media sosial bahwa Pancasila dan NKRI tidak final, ada juga yang secara terang-terangan ingin memerdekakan diri alias separatis. HTI yang bermimpi mendirikan khilafah, memang sudah dibubarkan. Akan tetapi mereka mengajukan yudisial review ke MK terhadap Perpu No. 2/2017 tentang Ormas yang menjadi dasar pemerintah. Pemerintah dan terutama aparat penegak hukum, menjadi model panutan yang bisa diteladani oleh rakyat.
Apabila keadilan sosial ini tidak dijalankan dengan baik, maka implikasinya adalah seperti dikhawatirkan Rasulullah saw, لولا عدل الامراء لاكل الناس بعضهم بعضا. Artinya “kalau tidak ada keadilan pemimpin (umara’) maka sungguh sebagian manusia akan “memangsa atau memakan” sebagian manusia lainnya”. Na’udzu bi Allah.
Saudaraku, mari kita dukung kesungguhan dan komitmen presiden yang akan melakukan penguatan pendidikan Pancasila di negeri ini. Yang jelas, kita faham dan sadar bahwa komitmen dan keteladanan pemimpin masih dipandang cukup atau sangat efektif dalam memberikan capaian pembalajaran (learning outcomes) peserta didik. Bahasa sederhananya, “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Ini sejalan dengan aksioma : “الناس على دين ملوكهم ” artinya “manusia (rakyat) itu (mengikuti) atas agama (ideologi) raja (pemimpin)-nya”.
Marilah kita menjadi warga dan pemeluk agama yang taat dan patuh. Karena mengamalkan agama yang sejalan dengan nilai-nilai ke-Indonesiaan adalah manifestasi pengamalan Pancasila. Pancasila dan NKRI adalah rumusan yang sangat fundamental nilai-nilai dan filosofi kehidupan sebuah bangsa yang sangat sadar bahwa segala sesuatu yang terjadi di bumi Indonesia adalah kehendak Allah, Tuhan Yang Maha Esa, yang proklamasi kemerdekaannya juga disadari atas keyakinan atas Rahmat Allah Tuhan Yang Maha Esa. Sudah barang tentu dari perjuangan seluruh elemen bangsa, dengan pengorbanan nyawa, harta, dan martabat sebagai sebuah bangsa. Mari kita ringkatkan komitmen Pancasila kita dalam rangka menjaga, merawat, dan memperjuangkan negara kesatuan Republik Indonesia, menjadi baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur.
Allah a’lam bi sh-shawab.
Wassalamualaikum wrwb.
Ngaliyan, Semarang, 14/8/2017.
Categories:

Silahkan Hubungi Kami