MUI DI PUSARAN RADIKALISME AGAMA DAN RADIKALISME SEKULER

Published by achmad dharmawan on

Assalamualaikum wrwb.
Alhamdu liLlah, segala puji hanya milik Allah. Mari kita syukuri anugrah dan karunia-Nya, kita sehat afiat dan dapat melaksanakan aktifitas belajar, bekerja, dan mengabdi pada masyarakat. Semoga Allah mencatatnya sebagai amal ibadah, guna menambah bekal akhirat kita. Shalawat dan salam mari kita senandungkan untuk Baginda Rasulullah saw, keluarga, sahabat, dan para pengikut setia beliau. Semoga semua urusan kita lancar dan dimudahkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla.
Saudaraku, 26/7/2017 MUI memperingati HUT-nya ke-42. Tidak ada tiup lilin dan potong tumpeng. Karena ini tampaknya bukan budaya Islam. Yang pertama, budaya barat, dan potong tumpeng budaya lokal Jawa. Meskipun tidak ada dasar normatifnya, karena masih dalam batas-batas yang dinilai baik, maka MUI tidak perlu memfatwakan. Kalau ada yang berdoa untuk kebaikan MUI, tentu itu adalah doa hang baik. Sebagai manusia, dianjurkan untuk berdoa dan memohon kepada Allah, semoga MUI mampu menjaga jatidirinya tetap istiqamah dan berkomitmen mengawal dan memandu masyarakat menuju khaira ummah, dalam ber-Islam secara moderat (wasathiyah) dan menjadi tenda besar umat Islam.
Dalam memeriahkan ulang gahun MUI, hair ini digelar Seminar Nasional tentang kajian akademik terhadap fatwa yang sudah dikeluarkan oleh MUI dari awal berdiirnya tahun 1975 hingga tahun 2017. Juga diadakan halaqah tentang Ekonomi Syariah yang digelar bersama dengan Bank Indonesia (BI) yang ikut memfasilitasi dan mensupport inisiasi, perintisan, pengembangan, dan membesarkan gagasan MUI tentang ekonomi syariah melalui pembentukan Komite Perbankan Syariah, dan pembentukan Perbankan Syariah di era 90-an yakni Bank Muamalat Indonesia (BMI).
MUI yang memposisikan diri sebagai ahli waris para Nabi, dan sebagai wadah berhimpunnya ulama, zuama, dan cendekiawan Muslim Indonesia memang merupakan wadah dan sekaligus representasi ormas Islam yang ada, dari yang “keras” sampai yang “lunas”. Tugas MUI, kata Prof KH Ma’ruf Amin, adalah menjadi tenda besar umat Islam, untuk melunakkan yang “keras” dan mengeraskan yang “lunak” agar berada pada posisi “moderat” atau “tengah” yang tawasut (moderat), tawazun (balance/seimbang), taadul (adil/justice), tasamuh (toleran), tarahum (saling menyayangi), taawun (tolong menolong), dan ukhuwah (brotherhood/ukhuwwah).
Saudaraku, sejak reformasi tahun 1998, kran demokratisasi dibuka lebar, membawa implikasi terjadinya “booming” dan “euforia” demokrasi, dan ini melahirkan banhak “organisasi kemasyarakatan Islam” atau “ormas” yang paradigma pemahamannya berbeda dengan mainstream MUI yang moderat. Ada yang bernama Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang artinya bahasanya Partai Kemerdekaan Indonesia. Meskipun setelah beberapa hari ini dibubarkan oleh Pemerintah, mereka didampingi oleh Yusril Ihza Mahendra, mengajukan yudisial review atas Perpu No. 2/2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan kepada Mahkamah Konstitusi.
Tentang radikalisme, Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan, arti katanya : 1). paham atau aliran yang radikal dalam politik; 2). paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; 3 sikap ekstrem dalam aliran politik. Jkka diakitkan dengan radikalisme agama, radikalisme agama dapat ditegaskan, sebagai paham atau aliran dalam memahami agama sebagai faham yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial keagamaan dengan cara kekerasan.
Sementara itu, radikalisme juga tampaknya muncul dalam faham sekuler. Dalam KBBI disebutkan, sekuler1/sekuler/ /skulr/ artinya bersifat duniawi atau kebendaan (bukan bersifat keagamaan atau kerohanian). Secara sederhana faham sekuler adalah faham yang menyatakan bahwa agama adalah urusan privat, dan urusan publik hatus dipisahkan dari agama. Tampaknya, radikalisme sekuler, juga terjadi di negeri kita ini, dan gaungnya cukup nyaring. Terutama yang disuarakan oleh aktor-aktor yang tergabung dalam gerakan-gerakan liberal.
Saudaraku, pertanyaannya adalah apa dan bagaimana MUI harus memposisikan diri sebagai organisasi yang memiliki legal standing atau standingpoint untuk memposisikan diri sebagai pemandu dan pemelihara umat (himayah wa ri’ayah ummah) dalam ikhtiyar mewujudkan umat yang terbaik (khaira ummah). Sebagai organisasi yang tidak memiliki massa atau pengikut dalam jumlah besar, tidak cukup seksi bagi partai politik karena tidak bisa memberi kontribusi suara secara signifikan dalam even-even politik. Ini berbeda dengan Ormas Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah yang nyaris selalu menjadi “rebutan” atau “beauty contest” para parpol untuk “meminang” mereka, guna mendulang suara saat pemilu, legislatif, presiden, pilub, dan atau pilkada.
MUI sudah berikhtiar secara maksimal untuk bisa membuka ruang dialog dengan berbagai ormas Islam yang memiliki kecenderungan berbeda dengan mainstream wasathiyah. Upaya yang dilakukan, ketika dialog tidak cukup efektif, maka dilakukan melalui sosialisasi, ajakan, dan komunikasi agar bisa bersama-sama membangun kebersamaan di tengah kebhinnekaan. Jika ada yang berbeda dalam soal furuiyah, tidak perlu dibesar-besarkan, dengan cara memupuk hal-hal yang memang menjadi persamaan.
Pilihan MUI untuk memahami dan mengejawantahkan Islam yang rahmatan lil alamin, memang tidak mulus. Tampaknya sudah lebih dari biasa, MUI menjadi sasaran bully, caci, dan maki, dari berbagai pihak. Bahkan dari Ulama yang tidak atau kurang sejalan dengan prinsip, jatidiri, dan visi-misi MUI pun, tidak kalah keras dan lantangnya mengkritisi MUI yang memang kelahirannya melalui “cesar” oleh Pak Soeharto waktu itu. Meskipun demikian, kehadiran MUI juga tidak jarang menjadi penyejuk, pendingin, dan pengayom umat, karena fatwa-fatwa dan taushiyahnya yang oleh sebagian besar umat, dianggap masih dalam posisi netral, imparsial, dan obyektif.
Saudaraku, di saat komitmen dan sikap istiqamah memegangi aturan agama laksana “menggenggam bara api”, maka di hari ulang tahun MUI, sudah saatnya kaum Muslimin di Indonesia ini, yang dirindukan oleh masyarakat dunia, membangun kebersamaan dan kerjasama kemitraan dalam menjadikan Indonesia sebagai model dan kiblat kehidupan sosial keberagamaan yang rukun, damai, penuh persaudaraan sejati, toleran, saling menyayangi dan daling tolong menolong. Harapan itu tidak akan sia-sia, selagi kita semua memiliki semangat persaudaraan sejati dalam menjaga kebhinnekaan dalam kebersamaan, dan kita tetap satu sebagai warga Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang dipersatukan dengan dasar dan ideologi Pancasila.
Semoga Allah ‘Azza wa Jalla senantiasa melimpahkan kasih sayang dan taufiqnya pada kita, untuk senantiasa bangga sebagai warga negara bangsa Indonesia, yang istiqamah, dalam ikhtiar mewujudkan baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur.
Allah a’lam bi sh-shawab.
Wassalamualaikum wrwb.
Wisuda Sarjana dan Pascasarjana UIN Walisongo, 27/7/2017.
Categories:

Silahkan Hubungi Kami