KEKUASAAN, PECUNDANG, DAN PEJUANG

Published by achmad dharmawan on

Oleh Ahmad Rofiq
Assalamualaikum wrwb.
Mari kita syukuri anugrah dan karunia Allah dengan memuji dan memanfaatkan kenikmatan-Nya untuk kebaikan dan yang bermanfaat bagi banyak orang. Semoga Allah menambahkan anugrah dan nikmat-Nya pada kita semua. Shalawat dan salam mari kita wiridkan untuk Baginda Rasulullah Muhammad saw, keluarga, sahabat, san pengikut setia beliau. Semoga syafaat beliau akan memayungi kita kelak di akhirat.
Saudaraku, pada tataran manusia, yang geraknya dibatasi ruang dan waktu, situasi dan kondisi, menghadirkan implikasi bahwa antara kekuasaan, pecundang, dan pejuang tampaknya akan saling berhimpitan, atau bahkan berkolaborasi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kekuasaan diartikan: 1). kuasa (untuk mengurus, memerintah, dan sebagainya): dia telah menggunakan ~ nya secara sewenang-wenang; 2). kemampuan; kesanggupan: tiada ~ selain ~ Allah untuk menciptakan dunia; 3). daerah (tempat dan sebagainya) yang dikuasai: bekas raja itu tidak mau pergi dari daerah bekas ~ nya meskipun sudah kalah perang; 4). kemampuan orang atau golongan untuk menguasai orang atau golongan lain berdasarkan kewibawaan, wewenang, karisma, atau kekuatan fisik; 5). Huk fungsi menciptakan dan memantapkan kedamaian (keadilan) serta mencegah dan menindak ketidakdamaian atau ketidakadilan.
Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan (wewenang) untuk menjalankan undang-undang; Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan untuk membuat (membentuk) undang-undang; kekuasan marital adalah bantuan dan kekuasaan yang diberikan seorang suami kepada istri dalam hal perbuatan hukum yang menyangkut harta kekayaan bersama. Kekuasaan politik digambarkan sebagai hubungan psikologis antara subjek dan objek, yang membuat subjek mampu mempengaruhi pikiran dan tingkah laku objek dengan tiga alasan utama, yaitu mengharapkan manfaat yang lebih besar, mengatasi kemungkinan yang tak diharapkan, dan melakukannya demi rasa hormat, ambisi perseorangan, atau lembaga tertentu. Sementara kekuasaan yudikatif kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan undang-undang.
Belakangan ini atmosfer negeri ini masih disibukkan soal RUU Pemilu yang sudah disahkan, akan tetapi mengundang kegaduhan politik, terlebih soal presidential treshold atau ambang batas perolehan suara parpol untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden. RUU belum diteken menjadi UU, sudah ada yang “indent” mengajukan yudisial review ke Mahkamah Konstitusi. Pemanasannya sudah dimulai tadi malam di acara Indonesia Lawyers Club (ILC), yang menghadirkan pakar-pakat Hukum Tata Negara, Prof. Mahfudh MD, Prof. Yusril, dan lain-lain.
Kekuasaan bagi sementara orang itu identik dengan kenikmatan, fasilitas, dan segala macam instrumen untuk mewujudkan keinginan untuk merubah suatu keadaan. Keadaan suatu bangsa sangat tergantung pada visi, misi, dan tujuan penguasa. Boleh dikatakan, seorang penguasa bisa mengubah segalanya dalam waktu cepat. Karena itu, dalam suatu negara atau lembaga, tidak dibenarkan terjadi kekosongan pemimpin. Memang tidak selalu identik antara penguasa dan pemimpin, tetapi kevakuman pemimpin atau penguasa, akan menimbulkan kekacauan. Dalam konteks inilah, Ibnu Taimiyah mengatakan:
ستون عام على امام جائر افضل من ليلة بلا سلطان
“Enam puluh tahun di bawah pemimpin yang melampaui batas (brengsek) lebih baik daripada satu malam tanpa ada pemimpin (penguasa)”.
Penguasa atau pemimpin boleh dikatakan memiliki kewenangan apa saja. Yang membatasi adalah konstitusi, undang-undang, atau regulasi. Jika sebagai negara hukum, penguasa atau pemimpinnya, taat asas atau taat hukum dan hukum ditempatkan sebagai supremasi hukum. Karena di dunia ini tidak ada kebebasan yang tidak ada batasan. Karena secara sunnatuLlah, kebebasan akan dibatasi oleh kepatutan dan kepantasan baik dari perspektif agama, regulasi, sosial, dan budaya.
Dalam masyarakat yang paternalistik, peran pemimpin relatif sangat menentukan dalam membawa arah dan kemana tujuan suatu negara atau kegiatan diarahkan. Sebagaimana teori : الناس على دين ملوكهم artinya “manusia itu menurut agama – atau program — para raja atau pemimpin mereka”. Karena itu, kita semua berharap mendapatkan pemimpin atau penguasa yang benar-benar memikirkan dan menyejahterakan rakyatnya. Karena tugas pokok pemimpin atau penguasa adalah melayani rakyatnya.
Saudaraku, karena kekuasaan itu tampaknya memang menjanjikan dan bergelimang fasilitas, maka banyak orang semangat untuk mendapatkan kekuasaan. Dalam cerita-cerita kerajaan, dinasti, dan bahkan di era demokrasi modern pun, cara-cara untuk meraih kekuasaan itu, dilakukan dengan berbagai cara, termasuk model machiavellianisme alias menghalalkan berbagai cara. Jika dulu suksesi identik dengan pertumpahan darah, sekarang dilakukan dengan pertumpahan materi. Bahkan hingga regulasi yang mengatur soal suksesi, parpol besar akan selalu berupaya melanggengkan kekuasaan mereka, demi pundi-pundi fasilitas dan lain sebagainya.
Karena itu, terkadang atau tidak sedikit pada pusafan kekuasaan itu, melahirkan brutus, sengkuni, atau pecundang yang selalu mementingkan dirinya sendiri, kelompoknya sendiri, dan melakukan berbagai macam cara untuk mencapai tujuannya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pecundang adalah orang yang melakukan kecurangan demi mencapai tujuannya. Kata pecundang mempunyai beberapa makna sesuai dengan perspektif yang memahaminya. Pecundang bisa dikonotasikan dengan pengecut, tetapi bisa diartikan dengan pengalah. Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan, cundang di situ punya dua makna. Yang pertama hasutan dan yang kedua merujuk ke kata kecundang yang diberi makna kalah atau “dikorbankan” demi kekuasaan orang tertentu yang mungkin sudah melakukan “barter” dan “kompensasi” tertentu.
Sementara itu, ada juga para pejuang yang sesungguhnya. Mereka ini adalah orang-orang yang boleh jadi, ibarat shalat jamaah, mereka ini adalah makmum yang setia yang prinsipnya “mengikuti apa kata imam atau kyai”. Mau kyai atau imamnya dibully karena sikap politik dan fatwa-fatwanya yang dilansir di media, sebagai makmum seria, maka bagi mereka hidup dna berjamaah adalah perjuangan. Bagi mereka ini “pejuang” itu tidak ada imbalannya kecuali “surga”. Loyalitas tunggal, karena mereka tidak mengenal loyalitas ganda.
Saudaraku, Anda ada pada posisi yang mana? Tentu Anda sendiri yang bisa menilai dan merasakannya. Tampaknya kalau kita mau mendekati dan memahaminya dengan fikiran dan hati, tidak ada yang enak. Menjadi pemimpin, tentu tanggungjawabnya berat. Jadi pecundang, tampaknya tidak ada yang mau, kecuali “pecundang” yang ada sutradaranya, dan pejuang tampaknya lebih enak. Akan tetapi pejuang ketika sudah karena hitung-hitungan angka, tampaknya tidak menarik juga.
Mengakhiri renungan ini, kita cermati secara seksama, sabda Rasulullah saw:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ يَقُولُ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ:
((كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤول عَنْ رَعِيَّتِهِ، الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْؤولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْؤولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْؤولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا، وَالْخَادِمُ رَاعٍ فِي مَالِ سَيِّدِهِ ومَسْؤولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، -قَالَ: وَحَسِبْتُ أَنْ قَدْ قَالَ: وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي مَالِ أَبِيهِ وَمَسْؤولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ- وَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْؤولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ))
[أخرجهما البخاري ومسلم في صحيحهما عن ابن عمر]
Dari Abdullah bin Umar berkata, aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin (penggembala), dan setiap kalian akan di intai pertanggungjawaban dari kepemimpinannya. Imam asalah penggembala, dan akan dimintai pertanggungjawabannya. Pelayan adalah penggembala harta tuannya dan akan dimintai pertanggungjawaban dari penggembalaannya. Ia berkata: “Aku mengira, beliau juga bersabda”: “Dan seorang laki-laki adalah oenggembala harta orang tuanya dan akan diminati pertanggungjawaban dari penggembalaannya, dan setiap kalian asalah penggembala dan akan dimintai pertanggungjawaban dari penggembalaannya” (Dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dalam kedua kitab Shahih- mereka berdua).
Berbahagialah Anda, jika Anda adalah pemimpin atau penguasa. Akan tetapi jika sudah mendapatkan kekuasaan, atau setidaknya berada di lingkaran kekuasaan, jangan biarkan posisi sebagai “pecundang” berkelanjutan, sebaiknya secara perlahan ditinggalkan. Dan jadilah pejuang, mujahid, apalagi mujahid di jalan Allah. Yakinlah, itu jalan terbaik yang perlu diikuti dengan penuh keikhlasan dan ketawadluan.
Allah a’lam bi sh-shawab.
Wassalamualaikum wrwb.
Pascasarjana UIN Walisongo, 26/7/2017
Categories:

Silahkan Hubungi Kami